Aku lahir disalah satu desa terpencil di daratan Tiongkok—
AH!
Maaf, jika kau berharap ini sebuah cerita sebuah keluarga
bahagia dimana ayahku yang selalu giat bekerja memiliki sebuah perusahaan
besar. Didampingi seorang ibu yang memiliki senyum terindah saat dia
membangunkanmu di pagi hari yang cerah. Serta seorang adik laki-laki yang
selalu membuatmu jengkel tapi kau tetep akan menyayanginya.
Tidak.. Hidupku tidak
seperti itu. Tapi hidupku toh tak seburuk dongeng Cinderella. Aku memiliki ayah
yang giat bekerja demi menghidupi kami dengan membajak sebuah tanah kering,
dibantu oleh ibuku. Setiap hari mau tidak mau punggu mereka menyapa sang
matahari. Aku juga memiliki adik laki-laki sepertiku yang tiga tahun lebih muda
dariku.
~~
Author pov~
“Belajar giat, hm?” tanya seorang wanita yang masih terlihat
cantik namun tertutupi oleh raut kelelahannnya. Tangan wanita itu mengelus
rambut anak sulungnya dengan lembut. Membuat seorang anak laki-laki yang serius
mengisi jawaban menghentikan guratan pensilnya.
“Ya?” dia mendongakkan kepalanya menunjukkan parasnya yang
tidak berbeda jauh dengan ibunya. Dia menatap seseorang yang menghentikan
kegiatannya sambil menunjukkan senyumannya.
Tercetak dengan jelas bukunya yang bertuliskan Matematika kelas 6 SD.
“Bisa kau jemput adikmu?” dia menganggukkan kepalanya dan
mengambil mantel yang tidak terlalu tebal dan sepasang sarung tangan.
Kalian pasti bingung kenapa dia tidak sekolah. Itu semua dikarenakan
beberapa hari lagi dia akan mengikuti tes kelulusan dan khusus untuk kelas enam
dibebaskan untuk tidak masuk sekolah. Agar mereka memantapkan pelajaran yang
sudah diterima. Kalian bisa menyebutnya minggu tenang.
Butuh beberapa jam perjalanan untuk mencapai sekolahnya, itu
semua kerena sekolahnya berada di desa yang berbeda. Udara yang dingin dengan
jalan di penuhi salju menjadi tantangan tersendiri untuknya. Jika dia bisa
mengeluh pasti dia sudah mengeluh. Tapi dia tidak mau adik satu-satunya itu
mati kedinginan.
“Hei!” serunya dengan jalan tergesah-gesah. Anak kecil yang
sendari tadi duduk diam disalah satu halte bus di depan sekolahnya,
mendonggakkan kepalanya dan menatap kakaknya dengan berbinar. “Ayo pulang!” sedangkan
sang kakak menatap iba adiknya yang terlihat kedinginan seolah-olah beberapa
detik saja terlambat dia akan membeku ditempat sesunyi ini.
Mereka berjalan menuju rumah dengan langkah pelan. Semua
jalan ditutupi salju mau tidak mau mereka harus berhati-hati dalam melangkah.
Kedua tubuh mungil itu hanya berjalan dalam diam, seolah jika mereka mengatakan
sepatah kata saja akan membuat tubuh mereka membeku.
“Gé~” gumamnya dengan gigi gemertak.
Dia menatapnya adiknya dengan bingung, biasanya adiknya tidak semenggigil itu.
Adiknya kini tepat berada dibelakangnya, dia kembali menjejakkan langkahnya
diatas salju dan adiknya akan menginjak bekas jejak kaki kakaknya agar tidak
terperosok.
“Hm?” saat sang kakak membalikkan badannya, dia menemukan sebelah
tangan adiknya membiru. “Kemana sarung tanganmu yang lain?” tanyanya heran.
“Hilang,” cicit adiknya dengan ketakutan. Dia hanya
mengerutkan dahi melihat ekspresi adiknya yang ketakutan. Dengan helaan nafas
dia melepas sarung tangan kanannya dan memakaikannya ditangan adiknya.
“Sudah hangat?” dia tersenyum kecil saat kepala adiknyanya
mengangguk dengan semangat dan menatapnya sambil tersenyum. “Ayo pulang, ibu
sudah membuatkan makanan hangat untuk kita.” Dengan singkat sang kakak mengusap
pucuk kepala adiknya yang terhalang kupluk merah yang warnanya sudah memudar.
~~
I CRIED FOR MY
BROTHER SIX TIMES
|
XI LUHAN AS XI LUHAN
XI SEHUN AS OH SEHUN
|
BROTHERSHIP
|
ALL LUHAN
POIN OF VIEW
|
ALTERNATE UNIVERSE
CANON
OUT OF CHARACTER
(MAYBE?)
|
ADAPTASI DARI CERITA
DENGAN JUDUL YANG SAMA “I CRIED FOR MY BROTHER SIX
TIMES”
~~~
Bodoh—
Aku tergiur dengan perkataan temanku. Aku mencintai sepak
bola dan mereka jelas tahu itu. Dengan bodohnya, aku percaya bahwa ada sepatu
bola seharga 10 Yuan. Aku hanya bisa menghela nafas ketika aku membuka kotak
yang mereka berikan. Kau tahu apa yang aku dapatkan? Hanya sepasang sarung
tangan terbuat dari rajut berwarna kuning dengan secarik kertas bertuliskan. “BODOH” Aku yakin sarung tangan itu
bahkan tidak lebih dari 3 Yuan.
Senyum miris yang bisa aku tunjukan berbanding terbalik
dengan mereka yang tersenyum mengejek padaku. Bodoh, rutukku dalam hati.
Seperti biasa aku berjalan pulang bersama adikku. Aku hanya
diam sama sepertinya yang juga terdiam. Aku merogoh kantung celanaku dan
menatap adikku yang juga sedang menatapku. Setidaknya 10 Yuan tidak terbuang
sia-sia.
“Aku akan memberikanmu sesuatu tapi jangan protes,”
mendengar perkataanku sontak mata Sehun berbinar dan menatapku dengan
penasaran. Saat aku memberikan sarung tangan
berwarna kuning cerah, aku tentu sudah siap dengan nada protesnya. Aku
terkejut menemukannya tersenyum senang.
“Terimakasih Gé.”
Jawaban yang cukup mengejutkan..
Saat aku dan Sehun melepaskan sepatu, betapa kagetnya kami
menemukan ayah memegang tongkat bambu
panjang. Aku sudah tahu, pada akhirnya ayah akan menyadari uang 10 Yuan dari
lacinya menghilang. Bahkan aura kemarahannya sangat bisa aku rasakan saat
ayahku meminta kami berlutut menghadap tembok. Bahkan ayahku tidak memberikan
kami kesempatan hanya untuk mengganti baju seragam kami.
“SIAPA YANG MENCURI UANG ITU?!” suara lantang ayah sontak
membuat kami terdiam. Nyaliku menciut dengan drastis. Jujur aku takut ayah memukulku
dengan bambu yang ada ditangannya. Seolah mulutku terkunci dengan rapat aku
hanya bisa memejamkan mataku. “Baiklah kalau begitu, kalian layak untuk dipukul.”
Aku sontak memejamkan mataku dan menahan nafasku sambil menggigit
bibir bawahku saat ayahku mengangkat tingi tangannya dan hendak memukul kami.
Tapi sebuah tangan menahan tangan ayahku dan mencekram tangannya.
“Aku yang mencurinya ayah!”
BUAGH!!
Aku membulatkan mataku saat ayah dengan kerasnya menghantam tongkat
yang ada ditangannya pada punggung orang
yang mengaku mengambil uangnya. Bukan aku yang mengatakannya tapi adikku..
Sehun—
BUAGH!
“KAU SUDAH BELAJAR MENCURI DARI
RUMAH SEKARANG, HAL MEMALUKAN APA LAGI YANG AKAN KAU LAKUKAN DI MASA MENDATANG?!”
cerca ayahku tanpa menghentikan pukulannya
BUAGH!
BUAGH!
”KAMU LAYAK DIPUKUL SAMPAI MATI!
KAMU PENCURI TIDAK TAHU MALU!” umpat ayahku. Seperti kesetanan ayahku terus memukul
adikku dengan keras. Sampai akhirnya dia berhenti karena kehabisan tenaga
dengan nafas tersenggal. Dia terus memarahi adikku dengan geram walau pun tidak
memukulnya lagi.
Dan aku? Hanya bisa terdiam saat adikku dipukul karena
kesalahanku. Luhan! Kau kakaknya hati
nuraniku terus berteriak dengan keras. Tapi siapalah aku? Aku hanyalah seorang
kakak pengecut yang berlindung di punggung kecil adikku sendiri.
Entah berapa banyak pukulan yang ayahku berikan. Yang aku
tahu itu sangat banyak. Ayahku terduduk
dengan lemah dan meminta aku dan ibuku untuk membawanya ke kamar.
Sontak aku memeluk adikku dengan tubuh bergetar dan ibu
membantunya masuk ke dalam kamar kami. Ibu tampak terisak saat mengobati luka
adikku yang cukup mengerikan. Tapi yang membuatku heran aku sama sekali tidak
menemukannya menangis. Aku meringis melihatnya menahan sakit.
Kami tidur berdua di atas satu kasur. Sampai tengah malam,
aku tidak bisa tidur begitu pula adikku yang terus saja merintih karena
kesakitan.
Bukan perasaan lega yang aku dapatkan tapi rasa bersalah dan
marah berkecamuk di dalam diriku. Aku sudah tidak tahan lagi, aku kakaknya
kenapa aku yang di lindungi oleh adikku.
Melihat punggungnya yang terlukan, tubuhku seakan tidak bisa
aku kendalikan aku menangis dan meraung. “Se— ARGHT!!”
bahkan untuk memanggil namanya pun aku tidak bisa. Aku menjambak rambutku
sendiri sampai akhirnya tangan kecilnya menutup mulutku.
“Sudahlah gé semua sudah terjadi, untuk apa
kau menangis?” aku terkesiap mendengar perkataannya yang tenang. Mulai dari
hari itu aku selalu membenci diriku sendiri karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk mengaku. Bahkan aku tidak akan lupa bagaimana wajah adikku
yang melindungiku. Padahal dia berusia 8 tahun sedangkan aku 11 tahun.
~~
Perbeda tiga tahun membuat keluarga kami kerepotan. Adikku
lulus SMP dan dia diterima disalah satu SMA dipusat kabupaten. Bersamaan
denganku yang diterima disalah satu universitas provinsi.
Pada malam itu aku memandang surat penerimaanku dengan resah.
Aku menemukan ayahku sedang duduk dihalaman sambil menghisap rokok tembakau,
bukan hanya batang demi batang tapi bungkus demi bungkus sudah dia habiskan.
Tanpa sengaja aku diam diambang pintu, mendengar ayah mendesah dengan mulut
mengeluarkan asap rokok. “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik—”
dia mengambil asbak dan menaruh rokok yang sudah habis dihisapnya. “—hasil
yang begitu baik,” gumamnya, kini dia mengambil sebatang rokok lagi.
Ibu mengusap air matanya dan menghela nafas. “Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai mereka berdua sekaligus?”
Tiba-tiba Sehun menghampiri ayah dan berkata. “Ayah, aku
tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku sudah cukup banyak membaca buku.”
Mendengar perkataan adikku, ayah menatap adikku tajam dengan mata menggelap.
PLAK!
Satu tamparan keras mengenai wajah adikku. “Kenapa kau
memiliki jiwa lemah seperti ini?!” hardiknya, sedangkan Sehun dan ibuku hanya
menundukkan kepala. “Bahkan jika ayah harus mengemis dijalanan akan ayah
lakukan demi menyekolahkan kalian berdua sampai selesai!!” Saat itu juga ayahku
langsung mengetuk pintu satu demi satu rumah untuk meminjam uang.
Aku berjalan mendekati adikku dan mejulurkan tanganku untuk
mengelus pipinya dengan hati-hati. Dia meringis saat tanganku menyentuh kulit
pipinya yang membengkak. “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya,
kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan.”
“Gégé,
juga laki-laki kan?” aku cukup terkejut dengan perkataannya.
“Tentu saja,” ujarku sambil tertawa kaku. Melihatnya
menatapku seperti itu. Saat itu juga aku memutuskan untuk tidak melanjutkan
pendidikanku ke universitas.
Tapi— siapa sangka keesokan harinya, sebelum mentari datang.
Adikku meninggalkan rumah dengan beberapa pakaian lusuh dan sedikit kacang yang
sudah mengering. Dia menyelinap tanpa sepengetahuanku dan meninggalkan secarik
kertas di atas bantalku.
Ge, masuk ke universitas tidaklah mudah.
Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimkanmu uang.
Air mataku kembali mengalir begitu deras sampai-sampai
mataku membengkak. Tahun itu Sehun berusia 17 tahun. Dan aku 20 tahun.
~~
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh warga desa dan
uang yang adikku kirimkan dari hasil kerja
kuli sebagai pengangkut semen dipunggungnya di lokasi konstruksi. Akhirnya
aku bisa sampai di tahun ketiga universitas.
Beberapa kali aku menghela nafas menatap buku yang aku baca.
Tidak, aku tidak akan menyerah melihat perjuangan keluargaku. Aku hanya perlu
belajar. Beruntung aku mendapatkan sebuah apartemen murah walau pun lumayan jauh dari universitas.
Tok! Tok! Tok!
Aku terlonjak kaget saat mendapatkan seseorang mengetuk
pintu kamarku.
“Yixing?”
“Ada seorang penduduk desa menunggumu diluar,” ujarnya dan
masuk ke dalam kamar begitu saja. Saat aku bertanya siapa nama penduduk desa
yang menungguku dia hanya mengangkat kedua bahunya dan merebahkan tubuhnya
diatas kasur.
Sambil berjalan ke luar aku terus berpikir, kenapa ada
seorang penduduk desa yang mencariku?
DEG!
Betapa kagetnya aku, ternyata penduduk itu adalah adikku
sendiri, seluruh badanya kotor tertutup debu semen dan pasir.
“Sehun-na?”
“Luhan-gé!” aku masih bisa melihat
senyumannya walau pun ditutupi debu.
“Kenapa kau tidak bilang pada teman sekamarku kalau kau itu
adikku?”
Dia malah tersenyum mendengar pertanyaanku dan menjawab.
“Lihat bagaimana penampilanku,” ujarnya sambil membandingkan baju yang ia pakai
dengan baju yang aku pakai. “Apa yang akan dia pikirkan jika dia tahu aku
adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”
Aku menatapnya miris, selalu saja dia membuat air mataku
menggenang. Tanganku terulur untuk menyapu semua debu yang mengotori wajahnya.
Tenggorokanku terasa tercekat saat melihatnya masih tersenyum. “Aku tidak
peduli dengan omongan siapa pun!” dia sedikit tersentak kaget karena aku
membentaknya. “Kau itu adikku! Mau bagaimana pun juga penampilanmu, kau itu
tetap adikku!!”
Dia tidak merespon kata-kataku malah merogoh tas yang sudah sangat
lusuh dan mengeluarkan sesuatu. Mataku membulat sempurna saat dia memakaikanku
sebuah topi berwarna hitam.
“Sebentar lagi musim panas, aku rasa gege membutuhkannya,”
aku hanya bisa terdiam. Lihat penampilannya, bahkan dia kesini pun tidak
memakai topi dengan cuaca seterik ini. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri
untuk tidak memeluknya. Saat itu juga aku menangis. “Bukankah gégé pernah bilang seorang laki-laki
tidak boleh menangis?” aku tidak peduli dengan kata-katanya aku hanya bisa
menangis sambil memeluknya.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
~~
Saat pertama kali aku membawa pacarku ke rumah. Aku cukup
tertegun melihat kaca jendela yang pecah sudah diganti. Rumahku yang biasanya
lumayan berantakan sudah bersih dimana-mana. Aku tidak bisa menghentikan
senyuman diwajahku saat aku menghampiri ibuku.
“Bu, sebenarnya ibu tidak perlu membuang waktu dan tenaga
untuk membersihkan rumah kita,” ujarku sambil memeluknya dengan erat.
Tapi ibuku hanya tersenyum kecil dan berkata, “Sehun—”
ucapnya pelan. “Dia pulang lebih awal untuk membersihkan rumah,” aku
mengerjapkan mataku sambil melepaskan rengkuhanku. “Apa kau tidak lihat luka
ditangannya? Dia terluka karena memasang kaca jendela baru.”
Mendengar perkataannya aku langsung berjalan menuju kamar
adikku. Saat aku masuk ke kamarnya aku langsung melihat raut wajahnya yang kusut.
Aku merasa beratus-ratus jarum menusukku.
Aku keluar dari kamarnya dan mencari kotak obat.
“Kau yang membetulkan jendela itu?” dia mengangguk. Aku
menarik tangannya dan mengoles sedikit salep pada luka di telapak tangannya dan
membalutnya dengan kasa. “Apa itu sakit?” tanyaku heran karena dia sama sekali
tidak meringis kesakitan.
“Tidak, tidak sakit,” ujarnya dengan datar. “Kau tahu gé?
Ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku
setiap waktu. Bahkan itu tidak mengghentikanku bekerja dan—”
Ditengah kalimat ia berhenti karena melihat mataku kembali mengeluarkan
air mata. Aku itu kakaknya tapi kenapa lagi-lagi adikku yang harus menimpa
nasib seperti ini? Harusnya aku yang menjaganya.
Waktu itu adikku
berusia 23 tahun dan aku 26 tahun.
~~
Ketika aku menikah, aku tinggal
di kota. Sudah sering kali aku dan istriku mengundang orang tuaku untuk datang
dan tinggal bersama kami, tapi mereka tidak pernah mau.
“Jika ayah dan ibumu
meninggalkan desa ini, kami tidak tahu harus mengerjakan apa disana,” ujar
ayahku dengan senyuman dan anggukan dari ibuku. Tapi aku tidak menyerah, namun
dengan sangat halus adikku berkata, “Gé,
jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ayah dan ibu disini.”
Prestasiku dalam bekerja
membuatku mendapatkan pangkat sebagai
direktur sebuah pabrik. Aku dan istriku menginginkan Sehun mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak
tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai reparasi. Suatu hari,
adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, entah apa yang
salah ia malah mendapatkan sengatan listrik dan terjatuh. Untung saja rekannya
membawanya langsung ke rumah sakit.
“Mengapa kau menolak menjadi manager?” keluh istriku saat
kami menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya aku menatapnya dengan tajam.
“Kau tahu? Manager tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya
seperti ini,” adikku hanya menatapku tanpa ekspresi. “Lihat dirimu sekarang,
luka yang kau dapatkan begitu serius.”
“Mengapa kau tidak mau mendengar kami sebelumnya Sehun-na?” tanya istriku dengan lembut.
“Pikirkan dirimu dan kakak ipar gé — kau baru saja jadi direktur
dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi menejer, berita apa yang akan tersebar?” mendengar
perkataannya mata istriku dipenuhi dengan air mata.
Dengan terbata-bata aku akhirnya mengatakannya juga, “Tapi,
kau kurang pendidikan juga karena aku!”
“Kenapa membicarakan masa lalu?” kemudian dia menggenggam
tanganku.
Yah~ saat itu dia berusia
26 dan aku 29.
~~
Akhirnya waktu itu tiba, adikku kini berusia 30 tahun ketika
ia menikahi seorang gadis petani dari desa kami.
Dalam acara pernikahan adikku,
pembawa acara dalam pernikahannya bertanya padanya. “Siapa yang paling kau
hormati dan kasihi?”
“Kakakku.” Tanpa berpikir
panjang dengan spontan dia menjawab. Ia melanjutkan dengan sebuah cerita yang
bahkan tidak dapat aku ingat. “Dulu ketika kami masih SD, sekolah kami berada
di desa yang berbeda. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk
pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari miliknya. Dia rela hanya memakai satu sarung tangan
dengan berjalan sejauh itu. Ketika sampai di rumah, tangannya begitu gemetar
karena cuaca yang begitu dingin sampai-sampai dia tidak dapat memegang sumpit.
Sejak hari itu aku bersumpah. Selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku
dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan memenuhi ruangan
itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya padaku. Seolah kerongkonganku
mengering dengan susah payah akhirnya aku mengucapkannya, “Dalam hidupku,
orang yang seharusnya selalu aku ucapkan
terimakasih adalah adikku.” Dan dalam moment yang paling indah untuk kami semua.
Tepatnya di depan seluruh tamu pernikahan adikku. Air mataku kembali mengalir
melintasi kulit wajahku seperti sungai.
END.OVER
~~
Gimana? Gimana?
Oke gimana menurut kalian?
Kurang greget yah? Soalnya versi originalnya, kakaknya perempuan bukan
laki-laki.
Recent Comments